Latar Belakang Dan
Nasab
KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir
di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau adalah Kiai Hasbullah Said,
pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama
Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai Fatimah binti Abdus Salam
(Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai Layyinah binti Abdus Salam,
ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari).
Pendidikan
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri.
Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat
tahajjud. Kemudian Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma
dan membaca Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal
kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk
amaliyah sehari-hari.
Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul
Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga
belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya
tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung
oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk
menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Di antara
pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah sebagai
berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.
Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi
santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah
pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam
sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan
Madura, beliau ke Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam,
termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu,
beliau juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama
aktivis dari seluruh dunia.
Peranan Dalam
Bidang Sosial Dan Kebangsaan
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah
pelopor kebebasan berpikir di kalangan ummat Islam Indonesia, khususnya di
lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia
yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan
berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul Wahab membentuk kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta
yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang
diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan
yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik
perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu
dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang
dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama
pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi
antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda
dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH.
Abdul Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan
terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan
kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama
dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial
kemasyarakatan dengan analisis keislaman.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten,
Surabaya, KH. Abdul Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916 M. Dari
organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari
ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang
berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Abdul Halim,
(Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil
(Kasingan Rembang).
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul
Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat
penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi
sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri
Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul
persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari
Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun
1924 M dan menaklukkan Madinah 1925 M.
Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya
memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan
di Tanah Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah
Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.
KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat
beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH.
Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi
yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang
kuat dan besar, maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama
pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim
al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha
ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz.
Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di
antaranya adalah, makam Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak
jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum
boleh mengajar dan memimpin di Haramain.
Seorang Inspirator
GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara
tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi
keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan
pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas
Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda
justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan
Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung
KH. Abdul Wahab Hasbullah -yang kemudian menjadi pendiri NU- membentuk wadah
dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan
Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti
Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab
Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil
dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah
yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah.
Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap
sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat
predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai
dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam
menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara
formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau
24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Mahfudz Siddiq, KH. Wahid Hasyim,
KH. Dachlan.
Karya Dan
Pemikiran
Selain ahli dalam bidang politik, KH.
Abdul Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan
luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip
fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih
siyasah.
Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah
Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang
kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu
memberikan pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu
(mauquf) yang dihadapi ulama lain.
KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya
pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat
kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara
Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah
seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini
juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan
gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya
ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan
pengembangan media massa itu.
Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab
Hasbullah menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah.
Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten Surabaya. Dari
perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 M bernama Wahib,
yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina
rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka
berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi
dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan
ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya
meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya beliau menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya
ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah
karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat
dilakukan dengan Asnah, putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan
memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib
(almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas. Namun lagi-lagi
pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang
kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan.
Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah
beliau memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A.
Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul
Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “Kiai Tukang
Kawin” karena setelah itupun beliau menikah kembali untuk yang
keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama
Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat
menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau
dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah
dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH.
Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari
Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah,
Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.
Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat
pads tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali
sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA
Semua artikel ini dikutip dari berbagai sumber :
v Rifa’I,
Muhammad. K.H.Wahab Hasbullah biografi singkat 1888-1971.
Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.
Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.
v Safi’i Ma’arif
Ahmad. Islam dan Politik Insani Press. Jakarta. 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar